Sabtu, 19 Juli 2008

Fyodor Dostoyevsky

Karena sikapnya yang radikal dia dihapadkan di depan regu penembak untuk dijatuhi hukuman mati. Di sinilah dia mengucapkan perkataan yang terkenal, "Aku akan tetap memilih Kristus sekali pun Kristus berada di luar kebenaran." Namun kematian berpaling; dia lalu dibuang ke Siberia dan menjalani masa tahanan di sana.
Sebagai seorang sastrawan dan pemikir yang hidup pada masa di mana ilmu pengetahuan positiv berkembang, Dostoyevski dalam novel-novelnya banyak melakukan kritik terhadap pengagungan ilmu pengetahuan yang dinilai mampu merubah kedudukan agama. August Comte misalnya, membagi tingkat kebudayaan manusia menjadi tiga tingkatan, di mana sesudah zaman religius maka manusia akan memasuki zaman di mana ilmu pengetahuan dijadikan sebagai landasan kehidupan.
Paham-paham seperti inilah yang coba ditentang oleh Dostoyevski dalam novelnya "Notes from Underground". Dalam novel ini dia banyak mengungkapkan kenyataan yang sublim bahwa ilmu pengetahuan hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh kehidupan manusia, hanya seperduapuluh dari kemungkinan manusia. Menurutnya, "Akal hanya bisa mengetahui apa yang bisa dipelajarinya." Sedangkan hati, bisa bertengkar keras sekali dengan akal, yang berarti melawan kehendak dari pikiran sehat atau dengan kata lain: menentang kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari ilmu pengetahuan dan logika.
Meski karakter tokoh dalam novel ini cenderung imoral-Iwan Simatupang dalam sebuah essainya menyebut tokoh dalam novel ini sebagai seorang yang sudah merosot moralnya, namun kita bisa mendapat banyak pengalaman batin yang luar biasa dari novel yang kaya akan unsur psikologis ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel sebagian besar bukanlah fakta-fakta riil yang dapat dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan, tapi penuh dengan peristiwa-peristiwa batin. Budi Darma mengatakan, "Novel yang baik bukan novel yang kaya dengan tindakan jasmani, tapi yang kaya dengan berkelebatnya sekian pikiran." Dapat dikatakan bahwa novel Dostoyevski merupakan novel yang kaya dengan berkelebatnya sekian pikiran. Kita bisa melihat pikiran-pikiran apa saja yang berkelebat di dalam benak tokoh aku ketika dia berhadapan dengan sesuatu yang dipandangnya menjijikkan tapi sekaligus tidak berani dilawan dengan terbuka.
Di sini kita bertemu dengan seseorang yang pandangannya terhadap dunia luar begitu kelam, dan memandang orang lain dengan begitu hina. Dia, si tokoh aku, sering sekali menolak keberadaan manusia di sisinya, tapi di saat yang bersamaan-ketika keberadaannya di tengah-tengah manusia itu tidak mendapat perhatian-dia begitu ingin sekali menjadi akrab dengan mereka, berbicara dengan mesra, bahkan memeluk mereka semua sebagaimana layaknya orang yang sudah saling kenal begitu akrab.

laman