Minggu, 14 September 2008

Hendrik Marsman

Tiga Sajak untuk Orang Mati

I
Petang tiba;
remang turun samar-samar.
kucari damai yang menghilang dariku hari ini;
dan mau-tak-mau langkahku mengantar daku
ke pemakaman sunyi, tempat aku sesudah meninggalmu
datang tiap senja, papa dan seorang-diri.

mengapa? kutahu benar bahwa kau tak dapat kubangunkan
dan bahwa kau di sana dan aku di sini, terpisah oleh makam ini;
bahwa dari batu ini tak ada yang dapat kuperbantukan
dari keadaanmu yang tak mungkin berubah lagi.

orang mati adalah jauh dan dingin, dan penyair sunyi,
tapi saling didengarnya lagu mereka; aku menyanyi
dan kau dan aku menjadi bertalian lagi;
karunia – dan kutukan oleh gegabah hati –

jadi hindarkan nyanyian ini, maafkan, tetap nantikan daku;
doalah untukku setiap masa dari kekekalanmu,
agar perahuku ini dengan patahnya kekuatanku
tidak pecah terbelah waktu pantai nampak padaku.

II
Siang kesilauan matahari – bunga dan binatang
menggeliat dan berpusing dalam cahaya yang menyilaukan.
di atas bukit-bukit pada ujung sungai berbatang-batang
tamasya cemerlang menerawang bersinar-sinaran.

tapi di sini, di belakang air yang sejuk dan berpendar permai,
di mana cahaya siang menggubah bayangan hijau,
terbaringlah mayat-mayat bahu-membahu di bumi yang terbakar:
salah satu batu ini menudung kuburmu.

barangkali – pikirku – barangkali kita di kelak hari
berbunyi bersama bagai bidadari
berpakaian restu, dalam air yang sama
dua gelombang yang berbunyi sampai abadi.

kita akan tentram mengembara di tengah bunga-bunga
terlepas dari nafsu dan bebas dari dosa
dalam kebersihan-batin serta bahagia
yang melayang, melayang, dan tiada berkata…

tapi untuk apakah kupuji syukur ini sebelum matiku?
akulah sasaran untuk serba-lincah:
kadang kucari damai, kadang kutukan yang paling durhaka
lebih kusukai dari dirgahayumu yang suci –

begitu pun kini – mengapa tak bangkit engkau? tak sanggupkah aku
dengan matahari yang begini mengenangkan maut lama-lama;
berdirilah; supaya dapat kuberi kenikmatan kepadamu
lebih gemerlapan dan indah daripada kekelanmu!

III
Kadang, tengah mengembara di bukit-bukit kudengar suaramu –
lebih sering di tempat sunyi belum terjamah
di mana alam masih menggenggam sesuatu
dari kemurniannya purba-insani!

kadang di tepi air, kadang juga di hutan.
tetapi di batu karang dengan lumut lunak
yang mau-tak-mau mengingatkan pada rambutmu
jangan-jangan selalu kukenalmu kembali
dalam chuluk kijang yang larikan diri.

tapi untuk apakah kau sika aku? engkau tahu
aku belum ikhlas mati;
tak sanggup aku lepaskan diriku sendiri
atau gusarku dan berontakku ini.

barangkali aku laknat; kalau maut sekarang pun juga
tiba-tiba menyerang aku dari belakang,
maka aku mati bersama beratus-ratus orang
dan jatuh di Kepundan, panas dan merah.

dan di sana, justru di sana – bagai mangsa nyanyian setan –
masih terkejarlah aku oleh rajuk mustajab suaramu
lagu merdu, dahsyat untuk didengarkan
o, sangkakala yang lantang dari Jeruzalem baru.

Tidak ada komentar:

laman